Tulisan oleh: Annisa Magfira
“Di mana si gila duit itu bersembunyi?”
Botol plastik besar dan senapan mainan sudah mantap digenggam jemari kecil anak-anak kampung. Mereka siap menghantam dan mengeroyok Alim Jair jika berhasil menemukan tempat persembunyiannya.
“Keluar kau si gila duit!” teriak mereka lantang.
“Sialan.” umpat Alim Jair setelah merasa situasi aman. Ia kemudian keluar dari tempat persembunyiannya dan bergegas lari kembali ke rumahnya.
Alim Jair, si anak pemegang prinsip keadilan yang merasa harus memberikan balasan setimpal jika diperlakukan tidak baik oleh anak-anak lainnya. Ia bukanlah tipe anak yang rela dirundung. Dia harus melawan, bagaimanapun caranya. Tadi siang, Alim Jair melempari anak-anak itu dengan tai sapi yang dia ambil dari kandang tetangganya. Itu adalah bentuk pembalasan yang setimpal bagi mereka karena telah menaruh tai juga di sepatu sekolah Alim Jair. Kemudian di suatu pagi yang cerah, Alim Jair pernah datang ke rumah seorang anak penyebar propaganda negatif tentangnya, sambil membawa surat yang ia berikan langsung kepada orang tua si anak. Isinya seperti ini:
Kepada orang tua Abu Gani
Saya memohon kepada Anda untuk segera mengganti nama anak Anda karena nama itu sama sekali tidak mencerminkan mandiri dan baik hati. Ganti saja menjadi Abu Lahab. Lebih cocok dengannya. Kelakuannya mirip Abu Lahab. Saya akan menyumbang sarikung untuk acara pergantian nama itu.
Terima kasih.
Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Setelah berlalu, dari kejauhan Alim Jair dapat mendengar makian dari kedua orang tua Abu Gani. Tapi baginya itu membuatnya puas.
“Sialan” umpatnya kemudian. Gara-gara propaganda negatif itulah, sebutan “gila duit” menjadi identitas Alim Jair. Semua orang di Kampung Nelayan, memanggilnya dengan sebutan itu.
…
Alim Jair, menitipkan sarikung buatan ibunya di warung pagi-pagi sekali. Jika sore hari, dia akan kembali untuk menghitung berapa sarikung yang habis terjual dan berapa keuntungan yang didapatkan. Ia juga membawa sekotak untuk di jual ecer di sekolahnya. Selain sarikung, Alim Jair juga menjajakan senapan mainan yang terbuat dari bambu, pelurunya dari kertas basah kemudian dibentuk bulat-bulat kecil. Ia bisa membuat banyak jika mendapat stok bambu gratis dari tetangga. Ia juga menjual layangan jika musim layangan, ketapel, gasing dari kelapa kecil (bluluk) yang jatuh, tuding ngaji dari bambu yang diberi warna cerah menggunakan spidol, dan tutup botol kaca yang disulap olehnya menjadi karakter unik sehingga bisa menjadi gantungan kunci. Dia juga menjual jasa seperti joki tugas, mencuci sepeda dan mengambil air di sumur. Apapun yang bisa menghasilkan duit akan dilakukan oleh Alim Jair. Mungkin itulah sebabnya ia mendapat julukan “Si gila duit.” Namun tidak hanya itu, dia juga sebenarnya gila keadilan.
Sepulang sekolah, Alim Jair akan ke pesisir untuk menawarkan jasanya kepada nelayan. Beberapa nelayan pun sudah menjadi pelanggan setianya. Dengan tubuhnya yang mungil, ia akan berusaha membantu membawa hasil tangkapan ke darat, membantu membersihkan dan merapikan peralatan mereka atau menangkap ikan menggunakan sero. Semacam perangkap ”raksasa” yang dipasang melintang dari arah pantai ke laut dalam. Orang Selayar menyebut sero ini dengan nama bila.
“Bapak sudah lama jadi nelayan?” tanya Alim Jair serius.
“Tidak usah banyak tanya.” jawab sang nelayan sambil sibuk menarik wadah yang berisi hasil tangkapannya.
“Saya baru pertama kali melihat Bapak di sini. Apakah Bapak kenal saya?”
“Saya Bapakmu.” Jawab sang nelayan sambil menjitak kepala Alim Jair.
Setelah diam sejenak, Bapak menatap Alim Jair dengan serius sebelum bertanya, “Kenapa bocah sekolah dasar sepertimu, terlalu ambisius tentang uang?”
“Siapa pula di dunia ini yang tidak mau duit? Bapak sekarang kalau bukan untuk cari duit, tidak mungkin cuman ingin cari kebebasan di laut sana kan?” Ia menunjuk lautan yang terbentang luas di depannya.
“Tapi tujuanmu mencari uang sebenarnya untuk apa? Bapak dan Ibu masih kuat bekerja. Sementara kamu ini harusnya bermain dengan anak-anak itu di sana.” Lanjut Bapak.
Alim Jair tidak menggubris pertanyaan tersebut. Ia sekarang telah sibuk kembali merapikan jaring yang kusut.
“Di acara perpisahan sekolahmu, apa yang akan kau bawakan Alim?” Bapakmengalihkan pembicaraan ke topik lain.
“Lihat saja besok!” Tukas Alim.
…
Pagi hari yang cerah, semburat cahaya mentari menembus jendela ruangan aula yang semakin sesak dipenuhi warga Kampung Nelayan. Selain orang tua murid, warga kampung juga dipersilahkan untuk datang menonton pertunjukan. Sebagian dari mereka sebenarnya hanya penasaran dengan pengumuman siswa lulusan terbaik. Biasanya, yang mendapat predikat terbaik akan mengadakan jamuan makan-makan. Itulah kesempatan emas bagi warga untuk mendapatkan asupan gizi gratis.
Masing-masing murid diberi kesempatan untuk membawakan sebuah penampilan. Bebas, sesuai keinginan siswa. Alim Jair, kali ini akan membacakan sebuah puisi yang sudah ditulisnya sendiri.
“Terima kasih, saya akan membacakan puisi yang berjudul Ayat Kursi,” ucapnya dengan senyum di wajahnya setelah dipersilahkan untuk naik ke atas panggung.
Sesuai judulnya, Alim Jair hanya membacakan ayat kursi full satu ayat. Tidak ada tambahan kata-kata apapun atau penutup. Terlihat raut wajah kebingungan dari warga yang menyaksikan penampilan Alim Jair, termasuk bapak dan ibunya.
“Memang tidak ada yang bisa diharapkan dari bocah bodoh dan gila duit itu.” teriak ayah Abu Gani.
“Sebenarnya itu memang puisi. Puisi dan doa perlindungan kepada Tuhan dari setan dengan rupa manusia seperti Anda sekeluarga. Saya berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.” balas Alim Jair dengan tegas.
Wajah ayah Abu Gani memerah. Sepertinya, emosinya akan meluap-luap serupa ombak selatan.
“Saya memang gila duit, tapi kalianlah yang bodoh.” sambungnya dengan nada menantang.
“Bapak nelayan itu bertanya, kenapa saya begitu ambisius tentang uang? Alasannya karena saya ingin melanjutkan pendidikan saya. Setinggi mungkin, sampai saya terdidik dengan harapan saya tidak menjadi orang tua jahat seperti kalian. Di Kampung Nelayan yang kecil ini, keadilan menjadi barang mewah. Itu karena kebanyakan orang tua bodoh, buta dan tuli. Mereka seolah berlindung di balik kalimat “Wajarlah masih anak-anak.” Namun tanpa sadar, mereka mendukung penyimpangan itu terjadi. Mereka malah berperan dalam menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Kemudian jika anaknya yang menjadi korban, mereka akan bersuara lantang menyalahkan orang lain. Padahal yang menjadi korban tidak selamanya benar. Kejadian seperti itulah yang menjadi pendorong utama bagi bocah seperti saya untuk mengubah kampung ini menuju arah yang lebih baik.” lanjut Alim Jair dengan nada kekecewaan.
“Kepada orang tua Abu Gani dan orang tua anak-anak yang lainnya, saya ingin meluruskan tuduhan yang dialamatkan kepada saya. Saya memang ambisius tentang uang, tapi saya tidak pernah mencuri uang sumbangan tempo lalu. Abu Gani bersama teman-temannyalah yang mengambil uang itu, dan memakainya untuk membeli mainan di pasar. Dia bahkan menggunakan uang itu untuk membeli tujuh senapan mainan pada saya.”
…
Entah apa yang terjadi pada Abu Gani. Atas semua kejadian-kejadian hari ini, BapakAlim Jair tahu betul kalau anaknya tidak akan berlaku demikian jika tidak ada pemantik dari anak-anak lain. Mendengar tekad yang kuat dari Alim Jair tentang pendidikan dan keadilan, ia akan mendukung anaknya untuk menggapai semua mimpinya itu.