
Mendung mendominasi sore tadi, tapi kepalaku kekeh meminta untuk pergi keluar saja dan mengganggap remeh musim hujan. Kemudian, langit benar-benar memuntahkan air itu laiknya air bah yang tumpah, deras. Aku memaksakan diri melaju lebih cepat, lalu menyerah dan singgah untuk mencari tempat teduh.
Aku membuka jok motor. “Ah sial. Jaz hujan ini bau ikan asin,” hardikku, memutuskan untuk duduk saja menunggu hujan reda.
Kesabaran dalam menunggu tidak pernah damai dalam nadiku. Akhirnya kuterobos hujan itu, melaju di jalanan licin yang penuh genangan. Kemudian, netraku melihat sebuah tempat di ujung jalan di lorong sana. Lampu-lampunya temaram, berbaris rapi mengikuti tali yang tergantung. Aku tertarik penasaran. Tempat apa itu?
Sisa rintikan hujan tertinggal di pakaianku. Aku mengibas-ngibas sedikit, lalu masuk ke tempat itu.
“Permisi. Apakah ini kafe?” Tanyaku pada lelaki bertopi seperti mangkok kobokan.
“Ah ya, selamat datang. Ini kedai kecil,” jawab lelaki itu.
“Ada makanan?”
“Maaf, makanan sedang kosong. Bisa pesan minuman saja,” perintah lelaki yang berdiri di belakang meja kasir.
“Saya mau Telang Sereh satu,” jawabku setelah melihat-lihat daftar menu yang bertengger di belakang pintu masuk.
Satu gelas Telang Sereh mantap duduk di hadapanku, tanpa cemilan apapun yang membersamai. Kupandang seksama tempat itu, merasakan ritme rintik hujan yang jatuh laiknya ketukan simfoni nada dan melihat langit di luar yang nyaris gelap. Matahari telah berpamitan, malam akan segera datang.
Lelaki berkacamata di depanku mengisap vape, lalu menghembuskannya. Aku benar-benar benci asap itu. Ia berputar di hadapanku seperti melontarkan ejekan tak bermutu. Baiklah, kugeser sedikit kursiku lalu mendekat ke arah jendela yang lain.
Dua orang pelanggan datang, lelaki kemeja biru dan seorang perempuan.
“Boleh merokok di dalam?” tanya lelaki kemeja biru pada kasir.
“Maaf, tidak bisa, kalau vape masih bisa. Asapnya tidak tertinggal di dalam,” jawab sang kasir.
Lelaki itu diam sejenak, lalu mengalihkan pembicaraan ke rekannya. Syukurlah. Satu asap kretek setidaknya tidak jadi mengudara.
Suasananya mendukung untuk membaca, lalu aku mengambil satu buku di dalam tas yang kubawa dari rumah. Buku Bumi Manusia karya Pram-lah yang menemani kali ini. Aku lalu teringat dengan sebuah novel yang kubaca bulan lalu, “Before Coffee Gets Cold” karya penulis Jepang yang berhasil memeras air mataku untuk larut dalam cerita. Dikisahkan ada sebuah kafe yang bisa membawa seseorang ke masa lalu, dengan duduk di kursi dekat pintu masuk dan meminum kopi khusus yang diberikan oleh pemilik kafe. Syaratnya, seseorang yang pergi ke masa lalu itu harus segera kembali ke masa kini sebelum kopinya dingin atau ia akan terjebak selamanya di sana. Pesan pemiliknya adalah, kembali ke masa lalu, tapi tidak akan ada yang berubah. Walau demikian, aku mengharapkan tempat macam itu nyata adanya. Hanya untuk kembali mengulang masa yang kenangannya begitu lekat dalam dada. Seperti pertemuan pertama dengan seseorang, atau kesan terakhir sebelum berpisah. Mengulang itu berkali-kali mungkin bisa mengobati rindu yang mendera, walau tidak bisa mengubah apapun seperti kenyataan bernama perpisahan. Realitas dalam hidup yang modern ini lagi-lagi menamparku, bahwa tidak mungkin ada yang demikian. Maka, aku membuyarkan lamunan dan lanjut membuka halaman buku Pram, sambil meminum Telang Sereh yang kupesan tadi—rasanya enak, tapi perih seperti minum soda.
Suara adzan berkumandang, aku memutuskan mencari masjid terdekat untuk shalat, lalu pulang. Aku benar-benar lapar kali ini.
Di teras masjid, aku melihat seorang ibu yang tidur santai di sana. Dalam benakku, kiranya ia lelah karena perjalanan panjang dan singgah sebentar untuk istirahat. Saat memandang sekilas ke dalam gudang, ada seorang bocah yang mengisap kretek di sana. Ah sial, aku benci asap itu. Ia berhembus ke tempat wudhu perempuan. Barangkali tidak ada orang dewasa yang mau menegurnya, akupun malas berurusan.
Aku melihat tingkah aneh ibu yang tidur di teras masjid. Pandangannya kosong, ada sebungkus kretek di dekat kepalanya. Ia membuka bungkus kretek itu lalu menghitungnya, begitu terus secara berulang-ulang. Ia lalu berdiri dan mengibas-ngibaskan tangannya ke depan dan ke belakang seperti sedang peregangan. Pandangannya masihlah kosong seperti tadi.
“Apakah ibu itu baik-baik saja?” tanyaku pada seorang anak yang mengintip dari jendela.
“Dia orang gila dan berbahaya,” jawab anak itu.
Buru-buru kurapikan barangku lalu pergi setelah selesai shalat.
“Ah sial,” batinku lagi.
Bahkan orang gila sekali pun membutuhkan kretek. Apa istimewanya itu? Barangkali di setiap isapnya seseorang merasa lega, atau asap yang berputar di hadapannya menjadi penenang dari carut-marut kehidupan yang bengis ini. Di setiap cerita yang kubaca, di setiap adegan film, kegiatan mengisap kretek selalu berada pada bagian akhir setelah konflik terjadi. Bahkan, ada band luar yang bernama “Cigarette after sex” Barangkali kretek memang senikmat itu? Apakah ia bisa membawaku ke masa lalu? Apakah aku bisa lega? Pastilah aku akan sesak napas.
Tapi, barangkali aku butuh kretek juga.