Hope in the Darkness

Tidak, itu bukan mimpi.

Masih jelas terbayang kejadian 12 tahun yang lalu. Kejadian yang kemudian membawaku mengarungi derita tak bertepi. Peristiwa demi peristiwa. Sampai rasanya hidupku ingin kuberi judul sekumpulan tragedi. Sesak nafasku, leher yang seperti dicekik oleh tangan tak kasat mata, makhluk bertanduk yang muncul dari kegelapan, serta yang paling membuat pilu adalah, mereka yang tak satupun mendengar jeritku, sedangkan suara tawanya mampu kudengar dengan jelas diluar sana.

Tuhan, mengapa engkau menjadikanku ada untuk kau biarkan derita menenggelamkanku pada titik nadir? Adakah aku melakukan kesalahan yang tidak bisa Kau maafkan?

Atau, semua ini adalah caramu menyayangiku?

-dengan membentukku menjadi sekokoh karang, yang tidak lagi gentar meski arus kencang menerjangku dari semua arah.

***

Acara launching buku perdanaku akhirnya selesai dengan lancar. Setelah menyiapkan naskah itu selama kurang lebih satu tahun, akhirnya tiba hari ini. Hari yang menjadi klimaks dari ragam upayaku.

Menjalani kuliah dengan tugasnya yang memuakkan, kehidupan sosial yang sedikit membosankan, serta keadaan dunia yang jauh dari baik-baik saja di mataku. Aku hanya manusia biasa yang tidak serta merta mampu mengubah dunia. Namun pada hidup yang hanya sekali ini,kuharap kehadiranku bisa membawa arti.

Menulis adalah satu dari upayaku untuk itu. Refleksi yang lahir dari peristiwa di sekitarku, atau buah pemikiran yang muncul disaat aku sedang mengagumi betapa kompleksnya-dan indahnya Tuhan menata semesta.

Aku mengedarkan pandang sejauh arah yang bisa dijangkau oleh netraku. Hanya wajahwajah asing dengan buku yang sama di genggaman. Buku dengan nama “Aura” sebagai penulisnya. Sesekali, aku membalas sapaan para pengunjung, serta mengindahkan permintaan mereka yang memintaku untuk foto bersama atau tanda tangan.

Diluar distraksi itu, aku belum juga menemukan orang yang kucari. Padahal aku yakin sekali, tadi dia duduk di barisan bangku kedua dari belakang pada saat acara berlangsung. Merasa sedikit sesak dengan kerumunan, aku memutuskan untuk keluar ruangan. Butuh menghirup udara segar, sekaligus melanjutkan untuk mencari, barangkali dia ada diluar.

Dan benar saja.  Di antara semua hal yang ada, mataku hanya tertarik untuk menyorot seseorang yang saat ini sedang berbincang bersama orang yang tak kukenali. Mungkin tukang parkir, atau bapak penjaja minuman yang mudah dijumpai di sekitar sini.

Aku memutuskan untuk duduk di kursi yang terletak pada ujung koridor. Mataku masih berpusat pada objek yang sama. Serupa magnet. Caranya berbicara, tarikan senyumnya, caranya meminum sebotol air dengan duduk dan menggunakan tangan kanan, oke menurut orang lain ini berlebihan. Tapi hal-hal kecil yang ia lakukan semakin mematri kagumku pada sosok yang kurasa langka untuk ku temukan lagi di bumi.

“Selamat, peri kecil” seseorang membawaku keluar dari lamunan.

Aku mendongak, mendapati wajah yang kucari sedari tadi. Rupanya, aku keasyikan mengkhayal sampai tak menyadari bahwa orang yang tadi kupandang dari jauh, kini mewujud di hadapanku. Dari dekat. Dan ia masih sama memesonanya.

“Baru 2 tahun nggak ketemu ternyata membuatmu lupa nama teman sendiri” tukasku. Ia terkekeh.

“bukannya cewek-cewek itu suka ya diberi panggilan khusus kayak tadi?” ia duduk disampingku.

Aku mendengus. 

“selain lupa nama teman sendiri, ternyata Surabaya juga mengubah kamu menjadi jamet begini”.

“2 tahun, dan kamu masih sesarkas ini ya” ia menoleh padaku. Sekilas. Lalu membuang pandangan kearah lain”

“2 tahun, dan kamu juga masih sememesona ini” lanjutnya, samar. Namun kupingku masih bisa menangkap omongannya.

“eh,kamu bilang apa tadi?”

“aku bilang, 2 tahun dan kamu ternyata masih se budek ini” ucapnya yang kuhadiahi pelototan . Dasar, bahkan Surabaya tidak berhasil menghilangkan sifat menyebalkannya.

Pertemuan kembali setelah dua tahun itu sebenarnya adalah harapanku. Beberapa hari sebelum launcing buku, aku memang sengaja mengundangnya untuk datang, kebetulan saat ini sedang libur semester dan kami sedang berada di kota yang sama. Namun tak kusangka bahwa ia benar-benar menyisihkan waktunya untuk datang.

Sore itu dihabiskan dengan berbincang santai. Tentang bangunan SD kami yang sudah jauh berbeda, tentang teman masa kecil kami yang sudah jauh terpisah, tentang kuliahku, tentang kuliahnya, tentang semua hal yang kami anggap sama pentingnya.

Namanya Aufa. Senada dengan namaku, Aura. Ruang kelas sekolah dasar menjadi satusatunya ruang yang pernah mengakrabkan kami. Sebab setelah itu, kami melanjutkan pendidikan di sekolah yang berbeda. Dan setelah memasuki jenjang kuliah, ia memilih melanjutkan studynya di kota Surabaya.

 Namanya Aufa. Dia satu-satunya orang yang tak pernah menarikku untuk keluar dari ruang-ruang gelapku. Ia tak pernah memaksaku untuk merobohkan dunia yang kubangun sendiri, dan kuputuskan untuk menetap di dalamnya. Sekalipun, dia tidak pernah menasehatiku dengan kalimat-kalimat klise yang sudah muak kudengar dari mulut orang lain.

Dia, Aufa, memutuskan untuk menemaniku. Dia mencari beragam cara untuk bisa menembus duniaku.meski dengan berbagai penolakan, bahkan kata kasar, tak sekalipun kudapati dia tidak ada kala kubutuhkan.

Dia, Aufa. Satu-satunya manusia-selain diriku sendiri yang kupercaya untuk kubagi mimpiku bersamanya.  Dulu, sekarang, suatu saat, dan seumur hidupku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *