Muhammad Nur Ikhsan
Pappasang…
Sastra lisan tentang petuah leluhur kepada anak cucu
Tentang wasiat turun temurun menyimpan pesan-pesan hidup
Sipakatau, sipakainga’, sipakalabbiri’
Tak pandang suku
Tak pandang bahasa apalagi agama
Pesan-pesan petunjuk untuk manusia
“Hablumminallah Wa Hablumminannas”
Kita untuk manusia, manusia untuk Pencipta
Pappasang…
Tentang cara berTuhan
Tentang cara bersikap untuk sesama manusia
Tentang cara menjaga alam dan isinya
Tentang mengapa kita lahir dan untuk apa kita mati
Tentang apa yang mesti,
Apa yang harus,
Apa yang boleh,
Apa yang tidak,
Apa yang dilarang,
Dan semuanya tentang kita, tentang kalian, tentang Dia
Tentang sajak-sajak yang tak pernah usai
Bait-bait sajak pappasang yang ajarkan kita tentang rasa malu
“Katutui siri’nu, nanujagai mallaknu
Nasaba’ iaminjo sirika siagang mallaknu
A’jojjo ri nia’nu tau tojeng-tojeng”
Tak melihat siapa mereka, darimana dan apa agamanya
Sebuah Falsafah hidup yang mengakar dalam jiwa manusia Mangkasara’
Siri’ yang tanpa hunusan badik
Pacce yang tanpa dendam adu domba sesama
Pappasang…
Pesan-pesan tu mariolo yang tak lekang oleh zaman
Meski kau, mereka, kalian dan saya
Sudah terbenam kedalam pusara tak bernisan
Telah mati tanpa nama, tanpa karya…
Mangkasara’, bori’ pammantanganna pa’rannuang
Bori’ passekreanna lampang kana bajik
Tutu ri panggaukang labbiri
Manna ronrong linoa, Gesara’ butta maraeng
Abbulo sibatang, Accera’ sitongka-tongka tonji
Falsafah hidup leluhur Makassar yang tak pernah terlihat lagi
Tergantikan dengan gau’-gau’ salah
Yang nyatanya disenangi dan di lakukan berulang-ulang
Hilang…semuanya telah lenyap
Tak ada lagi Pangadakkang
Tak ada lagi Passikarimangiang
Tak ada lagi Assipakatau, assipakainga, apalagi assipakalabbiri
Hilang dan lenyap bersama tenggelamnya laut leluhur di Anjungan Pantai Losari
Bersama punahnya jonga di Tallo
Bersama phinisi yang lapuk tak mampu melaut lagi
Mangkasara’…
Sudah tak lagi menjadi kota yang berbudaya
Dentuman meriam di Benteng Sombaopu yang lapuk dengan karatannya
Cidu’ cappa badik yang tumpul oleh tangan penguasa-penguasa Jahannam
Serta Museum Balla Lompoa yang kalah pamor dengan jejeran kios-kios di Nusantara sana.
Ketika para pemuda yang sudah tak lagi percaya Pasang Cappa Tallua, yakni ujung Lidah, ujung Badik, dan ujung Kemaluannya.
Lidah yang dengan lantangnya mengeluarkan kata-kata kotor
Telaso, Sundala, Anak Kongkong
Semuanya telah dianggap sebagai kata sanjungan
Badik telah gampang keluar dari sarungnya
Sitobo’ lalang lipa’ tak lagi menjadi penyelesai masalah siri’
Sedang kemaluannya yang selalu liar mencari selangkangan untuk bersarang di emperan wisma dan kos-kosan bulanan
Tau lolo yang sudah enggan menjaga diri dibalik Walasuji
Mereka terlihat senang berada di Mol-Mol,
Bersolek dengan dada yang menjuntai bebas
Yang kadang merasa bangga jika memperlihatkan lekuk tubuh yang semok nan molek
Sudah tak ada lagi kata Tabe’
Sudah tak ada lagi kata kitte’
Sudah tak terlihat lagi passikarimangiang
Sudah hilang, hilang, hilang, hilang
Lenyap…