-Ahmad Ramadhani Bahar
Nafsu yang dibungkus kata cinta kerap kali memakan korban, membuat seseorang kehilangan akal sehat untuk menyadari bahwa ia tengah terjebak dalam lingkaran beracun, penuh duri, menyakitkan, bahkan mematikan. Berdasarkan survei UNICEF Indonesia (2021), sekitar 42% remaja yang pernah berada dalam lingkaran ini mengaku mengalami kecemasan berlebihan. Kata “cinta” sering kali hanyalah topeng untuk menutupi motif sesungguhnya. Ini adalah permainan lama yang terus berulang dan kerap merugikan salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 oleh Kementerian PPPA juga mencatat bahwa 50,78% remaja yang berada pada lingkaran tersebut setidaknya pernah mengalami satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya.
Membalut nafsu dengan kata cinta, inilah aktivitas handal seorang bejat — tiada lain demi menyalurkan hasrat yang membabi buta kepada objek yang ia inginkan. Aktivitas seperti ini terus dilakukan oleh mereka yang tak lagi menggunakan akal sehat sebagaimana mestinya.
Memahami makna cinta secara kaffah sangatlah penting, agar dapat membedakan mana cinta yang semestinya dan nafsu yang dibalut dengan kata cinta oleh mulut-mulut munafik dari manusia bejat berhidung belang.
Mari kita sama-sama merefleksikan perkara nafsu yang diselimuti kata cinta. Hampir setiap hari kita melihat sepasang insan berjalan berduaan, bermesraan di tempat umum layaknya suami istri. Ironisnya, mereka bukanlah pasangan yang sah dan halal, melainkan dua orang yang katanya “saling mengenal”. Padahal, perkenalan mereka tak lebih dari kotoran di balik kuku. Lebih tragis lagi, mereka merasa paling mengenal satu sama lain — bahkan merasa lebih tahu dibandingkan sosok ibu yang telah mengandung, melahirkan, dan membesarkan mereka hingga hari ini.
Jangan mengucap cinta kepada siapa pun, jika di dalamnya masih terdapat praktik-praktik yang merenggut kehormatan. Sebab, cinta yang sejati adalah cinta yang membimbing keduanya menuju jalan yang terhormat dan derajat yang lebih tinggi, bukan cinta yang mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil, apalagi mengancam keselamatan.
Praktik-praktik seperti ini akan terus menjamur, terutama di kalangan remaja. Ia akan mulai mendominasi, lalu perlahan dinormalisasi. Padahal, perlu kita ingat: hal-hal yang mendominasi tidak selalu berarti benar. Maka dari itu, penting bagi kita untuk terus membangun dan memperluas lingkungan yang senantiasa mengingatkan serta mendukung agar terhindar dari lingkaran nafsu yang bertopeng cinta.