Yang kuingat, Rian selalu ada di setiap episode kehidupanku. Dia sudah ada di depan mataku sejak aku mampu melihat dunia. Rumahnya bagai rumah kedua bagiku. Begitupun sebaliknya. Dan yang kutahu, apapun yang kulakukan, Rian pasti selalu ikut serta di dalamnya.
Teman-temanku bilang aku dan Rian seperti dua anak kembar tak identik. Dimana ada aku, pasti ada Rian. Dan dimana ada Rian, pasti ada aku. Selama 14 tahun kami sahabatan, rasanya aku tidak pernah mengingat kapan aku berantem sama dia. Rian selalu mengalah, dan selalu tidak banyak bicara. Aku pun bahkan hampir tidak pernah melihat Rian berekspresi berlebihan ketika senang ataupun sedih. Andalannya adalah wajah datar tanpa ekspresi. Sesekali dengan senyum setipis tisu. Sesekali dengan kening berkerut kala aku menjahili.
Oh iya, Rumah kami berdampingan. Jendela kamarku berhadapan dengan jendela kamarnya. Di malam hari, aku sering melihat Rian bermain gitar dibalik jendelanya yang terbuka. Sesekali aku bernyanyi mengiringi petikan gitarnya. sesekali aku ke rumahnya untuk menyelesaikan PR bersama. Sesekali Rian datang ke rumah untuk menikmati kue buatan ibu.
Dan diantara banyaknya perbedaan diantara kami, ada satu hal yang kami sama-sama sukai; duduk di taman belakang rumah. Menatap langit malam yang pekat namun indah karena dihiasi bulan dan bintang.
Suatu malam diantara banyaknya kebersamaan, Rian tiba – tiba bertanya,
”Rania, nanti kalau udah gede kamu mau jadi apa?”
Aku berpura-pura berpikir keras. Meletakkan telunjuk di dagu. ”Hmmm… nggak tahu, nih. Mau jadi istri kamu aja boleh?” lalu tertawa jahil setelahnya. Aku selalu suka kerut keningnya yang muncul ketika aku menjahili.
Rian memutar bola matanya, lalu menyentil kepalaku. “Bego”
Masih dengan sisa tawa yang tertinggal, aku menyentil balik kepalanya, “Dasar manusia serius.”
“Eh mau kemana? “ tanyaku melihatnya beranjak pergi.
“Kemana aja asal kamu nggak ada. Entar ketularan bego lagi “ Lalu aku tak menahan lagi kala ia benar-benar pergi.
Oh ya, mengenai ucapan ku tadi, aku memang tidak serius. Hanya asal. Aku senang menjahili Rian. Lagipula, aku dan Rian hanya sahabatan. Tidak pernah lebih. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi kucing-kucing di rumahku. Aku tidak tahu bagaimana kalau dia tidak ada, karena hanya dia yang selalu kuandalkan untuk mengerjakan PR Matematika dan Bahasa Inggris yang teramat kubenci.
***
Langit sore yang harusnya jingga kini diganti kelabu. Awan mulai merinaikan bebannya. Seperti biasa, sejak Februari datang, matahari seperti memberi kesempatan pada awan dan hujan untuk lebih lama menyapa bumi.
Di dalam sebuah ruangan kelas, panggung menampilkan peserta nomor urut 08 yang tengah berdeklamasi; Lomba puisi antar kelas, dan aku ditunjuk menjadi perwakilan kelas kami.
Rian duduk di bangku penonton. Tak bersuara, tanpa ekspresi. Aku tahu dia menonton, tapi aku tidak pernah bisa menebak apa yang ada di dalam kepalanya.
Setelah puisiku selesai, aku segera menghampirinya.
“Eh, gimana penampilanku tadi? Nggak malu-maluin, kan?” tanyaku penuh harap.
”Biasa aja.”
Aku mekamutot. Menjitak kepalanya, ”Sesekali memuji orang nggak bakal bikin kamu rugi, tau!”*
Rian hanya tersenyum tipis. “Tapi kamu nanya pendapat aku, kan? Ya aku harus jujur dong”
Aku menggerutu. ”Gini nih kalau berteman sama manusia kulkas. Udah dingin, nggak punya perasaan lagi”
Tapi begitulah Rian. Dia terlalu acuh dan malas peduli. Entah apa yang membuatku mampu berteman dengannya sampai saat ini.
“Yok ke kantin” tanpa aba-aba dia menarik tanganku.
“Dasar. Udah kulkas, nggak punya hati, kasar lagi”, aku mengikuti langkahnya dengan sedikit tergesa.
Walau menyebalkan, sepertinya yang bikin aku masih sanggup berteman dengan manusia ini karena dia selalu mentraktirku seporsi mie ayam dan segelas matcha di kantin.
***
Sore itu, aku menemukan Rian duduk di taman belakang rumah. Seperti biasa, sebuah buku yang entah buku apa ada di genggaman tangannya.
Aku menghampiri. Menepuk bahunya.
“Heiiiii kulkass, tumben jam segini masih disini. Kirain ada jadwal les”
Rian diam, tidak menanggapi.
”Woiiii” aku sengaja menyenggol bahunya cukup keras. “Kamu kenapa sih? “
“Nggak apa-apa.” Jawabnya. Seperti biasa ketika ia punya masalah namun enggan bercerita.
Tapi aku tahu, ada yang salah. Suara teriakan dan barang pecah belah yang dilempar terdengar sampai ke tempatku berdiri. Suaranya berasal dari dalam rumah Rian yang megah.
Semua orang kenal Om Pram-Papa Rian- sebagai seorang pengacara yang top di kota kami. Semua orang juga kenal Tante Tari- Mama Rian- sebagai seorang dokter yang punya klinik dimana-mana. Namun tak banyak yang tahu, bahwa dibalik kesempurnaan yang ditampilkan keduanya, ada rumah tangga yang retak. Dan Rian menjadi korbannya.
“Cerita Yann”, aku mendesak. “Nggak bakal bikin kamu keliatan lemah juga kok”.
”Papa selingkuh.” Rian mulai mengangkat bicara
Aku menoleh. Terkejut. Bingung mau merespon bagaimana.
”Mama minta cerai.”
Aku masih diam, menunggu dia melanjutkan.
”Aku bingung, Ran. Kalau mereka beneran cerai aku nggak tahu bakal gimana”
Aku menatapnya lama. Lalu tanpa banyak kata, aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
”Yan, kamu tau kan kalau kita udah sahabatan bahkan dari dalam kandungan?”
Dia menoleh.
“Aku tau kamu nggak baik-baik aja, dan aku nggak bisa bantu banyak. Tapi kapan aja kamu mau cerita, kamu tau kan harus ke mana?”
Sore itu, untuk pertama kali aku melihat mata Rian berkaca-kaca. Ia mengedipkan matanya dengan cepat, mencegah agar air matanya tidak jatuh. Huh, bahkan disaat-saat seperti ini ia masih berdiri diatas egonya.
“Kita kerumahku yuk, tadi ibu abis buat puding mangga kesukaan aku. Karena hari ini aku baik, aku bakal bagi ke kamu deh”
***
4 tahun berlalu,
Hari ini hari kelulusan sekaligus perpisahan sekolah. Akhirnya, aku bukan lagi siswi SMA yang selalu dilarang-larang sama mama. Akhirnya aku bisa bebas dari PR Matematika dan Bahasa Inggris yang menjadi musuhku selama 3 tahun terakhir. Aku tahu bahwa hari ini aku akan berpisah dengan teman-teman SMA ku. Tapi aku tidak tahu, hari ini bukan hanya hari perpisahan sekolah. Hari ini juga hari perpisahanku dengan Rian.
Setelah acara, dia menungguku di taman belakang.
“Mama ngajak pindah ke Berlin,” katanya pelan. Ia menatap mataku lurus. Wajahnya masih datar. Dan lagi lagi aku tak bisa membaca pikirannya.
Seperti ada yang jatuh dari dalam diriku. Aku menoleh. “Sementara atau….? “
ia menarik napas. *”Selamanya.”
“Kenapa baru bilang sekarang? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin?” Aku tidak mengerti mengapa aku harus marah. Namun ada bagian dari diriku yang seperti tidak terima jika Rian pergi.
“Aku juga baru tau hari ini. Mama tiba-tiba datang, jelasin semuanya, dan aku nggak punya alasan untuk menolak”
Aku tidak bisa menahan diriku. Entah untuk alasan apa air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Sedih dan marah adalah dua hal yang kurasakan bersamaan malam ini. Tapi kenapa? Kenapa aku harus marah disaat sahabatku ingin ikut ibunya ke Berlin? Bukannya aku harus senang karena Rian akhirnya bisa bersama dengan ibunya kembali?
Di tengah perasaan campur aduk dan kebingungan yang kurasakan, Rian memelukku.
Untuk pertama kalinya aku sadar bahwa kehilangan adalah hal yang paling tidak ingin kualami dalam hidup.
***
Hari-hari setelah Rian pergi terasa aneh. Rasanya seperti, tidak lengkap. Aku bangun tanpa ada suara ketukannya di jendela. Aku kemana-mana tanpa dia yang mengekor, aku pulang kuliah tanpa alasan untuk mampir ke rumah sebelah. Aku kehilangan sosok yang tak pernah marah meski sering kubuat marah. Dan yang paling terasa, aku kehilangan sosok yang menjadi tempatku bercerita tentang semua. Social media masih ada, namun seperti ditelan bumi, Rian menghilang. Raganya pergi, begitu pula kabarnya.
Tapi kehidupan harus terus berjalan. Aku memaksa diri untuk terbiasa. Atau setidaknya, pura-pura terbiasa.
Hingga perjalanan hidupku selanjutnya mempertemukanku dengan Damar. Laki-laki yang, entah bagaimana, berhasil membuat kepergian Rian terasa lebih ringan. Damar baik. Tidak seperti Rian yang selalu terlalu jujur, Damar tahu bagaimana memilih kata-kata.
Perlahan, aku jatuh hati padanya. Hingga akhirnya, kami bersama. Dan hidupku kembali berjalan seperti biasa.
***
Aku tidak pernah benar-benar memikirkan Rian lagi. Sesekali mungkin iya. Setiap pagi saat menyibak tirai jendela, aku masih berharap sosoknya tiba-tiba muncul. Dengan gitar di tangannya. Lalu kami kembali menyanyi bersama. Tapi ah, semua itu hanya kenangan. People come and go. Toh, sekarang aku tidak kesepian lagi.
Aku punya Damar, dan hidupku baik-baik saja.
Sampai suatu hari setelah delapan tahun, dia pulang.
Rian.
Aku melihatnya di taman belakang rumah ketika aku pulang dari kampus. Masih dengan style favoritnya—jaket hitam, dan ekspresi datar yang tak berubah. Barangkali, yang berubah hanya gurat wajahnya yang semakin dewasa.
”Hai.” Ia terdengar kaku.
Aku menelan ludah. “Hai” aku tidak mengerti mengapa aku merasa tidak seleluasa dahulu? Seharusnya aku bisa memeluknya dengan mudah. Dia sahabatku. Sahabat yang menghilang delapan tahun, namun entah karena apa dia tiba-tiba muncul kembali hari ini.
Rian menatapku lama, seakan sedang memastikan bahwa aku benar-benar ada di hadapannya.
“Kamu masih suka lihat bintang Rania?” tanyanya akhirnya.
Aku tertawa kecil. ”Kadang-kadang.”
Dia mengangguk pelan. Lalu berkata, “Aku pulang karena ada yang harus ku omongin sama kamu.”
Aku mengerjap. ”Apa?”
Rian menarik napas. Dalam, “Aku nggak tahu kenapa waktu itu harus pergi. Sama nggak tahunya kenapa aku nggak pernah bilang apa-apa ke kamu. Tapi sekarang aku tahu satu hal, Ran…”
Rian menggenggam kedua tanganku.
“Aku pulang, karena aku tahu tempatku seharusnya ada di sini. Sama kamu.”
Aku membeku.
“Rania, 8 tahun aku pergi. 8 tahun kita nggak pernah komunikasi. 8 tahun waktu yang bikin aku sadar kalau satu-satunya rumahku, ternyata cuma kamu”
Dan akhirnya pertahananku runtuh.
Kata-kata itu, seharusnya tidak berarti apa-apa lagi. Seharusnya tidak membuatku merasa seperti ada sesuatu yang kembali runtuh dalam diriku.
Karena aku sudah baik-baik saja.
Karena ada Damar. Dan, aku bahagia
“Kamu sahabat terbaikku, Yan. Aku sayang kamu sebagai sahabat nggak kurang nggak lebih”. Aku melepaskan tanganku dari genggamannya. Rasanya campur aduk. Tapi aku merasa dipermainkan.
Namun ada satu hal yang tidak bisa kutolak. Ketika malam itu, aku duduk di tepi ranjang dengan dada yang terasa penuh. Bukankah pernyataan Rian harusnya membuatku marah?
Tapi kenapa, untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, aku kembali mau memandangi bintang-bintang dalam waktu yang lama, dan mengingat kembali bagaimana dulu Rian selalu ada di setiap episode hidupku?
***
Aku tidak bertemu Rian selama beberapa hari setelahnya. Tapi baguslah, setidaknya aku tidak mesti berpikir keras akan bersikap bagaimana. Rumah kami bersebelahan, tapi rasanya Rian seakan menghindar. Sampai suatu malam, aku kembali mendapatinya duduk di taman belakang rumah. Tempat kami biasa menghabiskan waktu dulu.
”Kenapa kamu baru pulang sekarang, Yan?”
Rian menatap langit. Lama. Tanpa kata-kata.
Hening menemani kami berdua. Sampai akhirnya, “Rania, apa aku masih punya kesempatan? “
Jantungku mencelus.
Ia tersenyum kecil. ”Aku sudah terlambat, ya?”
Satu sisi hatiku menyangkal. bilang kalau dia belum terlambat, kalau dia masih bisa tinggal. Tapi sisi yang lain justru sebaliknya. Aku tidak bisa. Aku sudah memilih, dan karena aku sudah punya Damar.
Meskipun kusadari hatiku mungkin masih ada di sana, bersama semua kenangan yang kusimpan selama ini, aku tahu aku tidak bisa kembali.
Dan aku kira, itu akhir dari cerita kami.
Tapi aku salah.
***
”Ran,
Kalau kamu baca surat ini, berarti aku sudah pergi. Maaf karena aku terlalu payah untuk bisa bilang ini langsung ke kamu. Aku nggak pernah cerita ke siapa-siapa soal alasan aku pergi dulu. Semua orang pikir itu cuma karena aku ikut mama ke Berlin. Tapi nggak ada yang tahu kalau alasan sebenarnya lebih dari itu.
Aku sakit, Ran.
Aku tahu sejak sebelum kita lulus SMA. Awalnya aku pikir Cuma sakit biasa, tapi ternyata nggak. mama panik, makanya dia maksa aku ikut ke Berlin buat pengobatan. Aku nggak bisa nolak. Tapi yang paling bikin aku takut bukan sakitnya, Ran. Tapi kamu. Aku takut kalau aku bilang ke kamu, kamu bakal nangis. Kamu bakal sedih. Dan aku nggak mau itu terjadi.*
Jadi aku pergi. Tanpa bilang apa-apa.
Delapan tahun aku berusaha sembuh. Aku udah coba semua yang bisa aku coba. Tapi beberapa bulan lalu, dokter bilang nggak ada lagi yang bisa mereka lakukan, makanya aku pulang.
Aku nggak mau pergi dari dunia ini tanpa kamu tahu satu hal:
Kamu rumah aku, Ran. Selalu. Aku tahu sekarang kamu punya Damar, dan aku senang kamu bahagia. Aku nggak pulang buat ngerebut kamu. Aku cuma pulang buat bilang, bahwa selama ini, aku nggak pernah benar-benar pergi. Aku selalu ada. Aku selalu ingat kamu. Dan di hati aku, kamu akan selalu jadi satu-satunya tempat yang terasa seperti rumah.
Jaga diri baik-baik, ya. Jangan lupa lihat bintang sekali-sekali. Aku pasti bakal lihat juga, dari tempat aku nanti.
– Rian”
Surat yang dititipkan Rian untukku membuat tanganku gemetar saat membacanya. Dadaku sesak.
Segera aku berlari keluar rumah, berharap dia masih ada di rumahnya. Nihil. Mobil yang membawanya pergi sudah menghilang.
Aku menengadah ke langit. Tak lagi menahan semua yang mendesak untuk tumpah dari mataku.
Tuhan, aku sadar bahwa tidak semua yang kita cintai harus kita miliki. Namun mengapa rasanya sesakit ini?
Lebih pedih dibandingkan saat Rian pergi 8 tahun yang lalu.
Malam itu, bintang-bintang bertaburan di sana. Aku memandangnya dalam diam. Sendiri.
Dan entah untuk keberapa kali, aku menangis.
Karena aku baru sadar bahwa aku tidak hanya kehilangan Rian sekali.
Aku akan kehilangan dia untuk selamanya.